2010/07/18

We are Dum and Dumber

We are Dumb and Dumber!
 (sebuah kisah tolol di Ibu Kota)



Saya melongo melihat sahabat saya si Calvin Damas Emil mengucapkan sesuatu yang membuat saya tertawa terbahak – bahak. Dia bilang begini, “Kita berdua kayak Dumb and Dumber!”, lalu disambung sanggahan yang keluar dari mulut, “Ya ngga lah!” (ekspresi tak terima). Tapi di tengah rasa geli yang bercampur aroma tidak terima itu, saya harus mengakui sesuatu, “Yes, I am Dumber”. Sekilas saya teringat kisah Dumb and Dumber, duet kocak Jim Carrey dan Jeff Daniels yang menampilkan komedi bernuansa slapstick dan lelucon yang gross-out. Gambaran dua sahabat polos ditambah bodol dan tolol. Oleh karena itu, saya akan mulai menyebut Calvin sebagai Dumb (sorry cin, you are so Dumb :D).

Siang menjelang sore di malam minggu itu, saya mencoba Busway untuk pertama kalinya (maksud saya, pertama kali sendirian) dari Pasar Rumput ke Senen, dan akhirnya sampain juga di Stasiun Senen (setelah dikebutin tukang ojek). Bertemu si Dumb juga diawali dengan keanehan. Saya terlanjur masuk peron dan ternyata si Dumb sudah menunggu di luar Peron dengan ekspresi lucu (mungkin karena dia kebelet kencing).

Dari Stasiun Senen, (dengan perdebatan aneh) akhirnya kami memutuskan naik Trans Jakarta di banding naik taksi. Jadilah kami (dua orang yang satunya membawa dua tas di depan dan belakang, dan satunya membawa oleh – oleh kripik plus tasnya sendiri) naik trans Jakarta dan sangat gembira melihat halte harmoni. Penuh semangat empat lima enam tujuh delapan, saya dan Dumb mengantri di sisi halte ke arah KALI DERES, ehem sekali lagi, KALI DERES. Setelah bercanda dan berulangkali saya tanya, “Cin, beneran turun di Kali Deres”, Dumb juga berulangkali mengangguk dan bilang, “Iye, beneran. Nyantai ja, ntar gampang, turun dari Kali Deres naik taksi ja.” Okay, saya kemudian kembali menikmati jalanan Jakarta yang tidak terlalu macet itu dan menengok ke halte Indosiar yang baru saja kami tinggalkan.

Selang berapa lama, saya sempat heran melihat si Dumb ngotak – atik hp nya dan sibuk melihat sms info rute perjalanan yang harus dia tempuh. Saya keluarkan GPS manual (peta kecil rute trans jakarta namun sungguh berarti) dan melihat Kali Deres itu pemberhentian terakhir dan mungkin sudah masuk perbatasan kota Jakarta. Herannya adalah si Dumb tidak mungkin milih kost di sekitar sana. Saya akhirnya bertanya, “Umm… Cin, beda lho antara ke arah Kali Deres atau Kali Deresnya.”. Maksud saya, kalau ke arah Kali Deres, kami bisa saja berhenti dimanapun sebelum Kali Deres bukan berarti harus di Kali Deresnya. Dan sesaat kemudian, saya mendengarnya berteriak di busway, “Oh My God, my vault!” Beneran deh, di sini perasaan saya sudah tidak enak ditambah dia bilang, “Bener Cin, ke arah Kali Deres, bukan berhenti di Kali Deresnya. Harusnya kita berhenti di halte Grogol.” Uups halte Grogol itu ada sebelum Halte Indosiar yang sempat saya lihat tadi. Hahahahaha! Ditengah kelinglungan kayak gini, saya masih sempat tertawa karena melihat ekspresi Dumb yang lucu. Akhirnya, kami memutuskan berhenti di 2 halte sebelum Kali Deres (saya ogah liet halte Kali Deres) dan dengan  keputusan lumayan cepat (karena sempat nongkrong di halte dan bingung memilih taksi atau trans Jakarta untuk putar balik) akhirnya terpilih taksi Express!!

Ketololan kami ga berhenti sampai di sini (karena saya pikir sudah naik taksi pasti sudah aman), actually, big NO!  Si Dumb memberitahu pak supir (yang sampai aku lupa melihat namanya) ke Jl. Panjang. Oh My Gosh, Jl. Panjang memang panjang! Herannya kami (dibantu pak supir) harus mencari Jl. Lapangan Bola dan Gang Mawar yang entah berada di kanan atau kiri jalan. Ditambah ternyata ada Gang Mawar III, it means, ada gang Mawar I dan II mungkin ada IV dan seterusnya (which one, Dumb?). Untungnya, setelah nanya – nanya orang (mungkin 5 atau 10 orang) kami menemukan rumah yang akan ditinggali si Dumb sampai pertengahan Agustus 2010 ini.

Oya, saya punya pikiran aneh saat kami berdua masih nanya – nanya orang untuk mencari letak kost Dum. Suatu waktu saya menawarkan diri untuk bertanya ke orang (karena sebelumnya selalu saja si Dumb), nah saat saya sedang bertanya pada tukang gorengan (kalau tidak salah), tak sengaja saya melihat kebelakang dan si Dumb sudah berdiri dengan muka o’on. Maksud saya, kami berdua benar – benar meninggalkan semua harta benda yang melekat di taksi (ada dompet, kamera, handphone, baju, oleh – oleh, tripod, dsb). Saya hanya membayangkan kalau tu barang – barang di bawa lari supir taksi, pasti muka kami berdua akan lebih culun dari sebelumnya… hahaha! Untungnya ga kejadian. Thanks God!

Dari kost-an baru Dumb (setelah Dumb cuci muka dan sempat curi pandang dengan mbak2 di kost an barunya yang sexy abis! wkwkwk) kami berdua tancap gas (lagi – lagi pake taksi) ke Plangi! Plaza Semanggi bertemu vanlitners , ada Budi Gila (dia harusnya lebih cocok jadi Dumb karena lebih mirip Jim Carrey, hihi) dan teman baru bernama Bian (orang yang ‘pekewuhan’ a.k.a. suka ga enakan ma orang), Jatmiko (si mr. wise nan medok), Teddy (ehem…) dan lain sebagainya tapi aku lupa namanya.

Finally (setelah aku bilang aku kelaperan di Trans Jak yang lalu), Vanlitners bersedia mengantar Dumb and Dumber makan di McD! (junk food again, olala asal laper kesehatan jadi nomor kesekian… hihi).
Sebelum pulang (naik taksi lagi), di Dumb mengantar ke jalan (udah kayak dia yang punya bangunan aja) dan bilang sesuatu yang bikin aku ketawa geli untuk kesekian kalinya, “Gila, tolol banget aku hari ini.”
That’s why, you called Dumb, honey! Hahaha!!!
Sweet moments Dumb! Dan aku penuhin janjiku sendiri untuk nulis ketololan kita berdua di My Insight (lovely blog!)
Next adventure!! When??!!! With Dumb and Dumber again???!



memori otak : 17 Juli 2010

2010/07/08

When 'expensive and well' mixed into something worthwhile

Bapak Taksi BB dan Abang Penjual Sate

Menurut saya pribadi, ini adalah kisah yang unik selama lebih dari 6 hari saya tinggal di Ibukota Indonesia yang apa??? Ehem… super duper macet (kutipan dari jutaan orang yang pernah berada di kota ini). Sore itu, saya ijin pada bos besar a.k.a si madam bule yang tegas (ga bisa sebut galak di sini) kalau saya ingin pulang lebih awal (sebenarnya bukan pulang lebih awal karena sudah lewat 1 jam dari jam pulang kantor, tapi lebih awal dibanding rekan  - rekan yang lain yang lagi lembuurr untuk bikin iklan salah satu bank populer di negeri ini yang sering hobi memakai corporate warna biru plus yang atm-nya sering offline). Oya, saya berada di kota crowded ini untuk magang alias kuliah kerja lapangan dari Juli hingga Agustus 2010. Magang di biro iklan multinasional bernama Euro RSCG (yang sampai detik ini saya tidak tahu kepanjangannya apa, hihihi!)

Tiap hari (karena untuk sementara ini saya ‘numpang’ di tempat saudara di daerah Karet Kuningan) saya berangkat diantar bapak sopir mikrolet nomor 44 dan bapak sopir kopaja nomor 66 yang tak henti – hentinya menawarkan murahnya berkendara dibanding naik taksi atau kendaraan pribadi. Namun pulangnya saya tetap akrab dengan taksi 2 armada berinisial BB dan Exp (ini karena saya tidak tahu arah ke karet dari kantor saya di dekat Menara Imperium harus naik apa), jadi jalan satu – satunya (yang sama sekali tidak mengasah otak) adalah naik taksi. (Viva taxi! Just for 2 weeks!)

Malam itu, saya berjalan menuju buruan kost saya yang baru dan hitungannya lumayan dekat dengan kost (jalan kaki pun mampu), bertemu dengan calon induk semang saya yang ndudd dan sangat muslimah barokah dan bermuka seperti Mama Lauren. Dengan kesepakatan yang sangat cepat efisien dan efektif, kami berdua pun berjabat tangan sambil tersenyum manis (iya iya, dia yang manis, saya tidak, hahaha!). Saya menyewanya, sebuah kamar ukurannya kurang lebih 5x3m, dijanjikan ada kursi+tempat tidur+meja+lemari, kamar mandi di luar (siapa yang peduli karena saya memang tidak rajin – rajin amat untuk membersihkan wc), cat warna krem, lantai keramik warna krem dan lumayan besar untuk badan sekerempeng ini (mungkin bisa saja untuk arisan para monyet). Tempat yang akan menjadi sahabat saya selama 2 bulan ini. Tempat untuk bercanda, tertawa dan menangis sendirian. (elahhh, mellow amat).

Sepulang dari sana, bertemu dengan adik kecil (mungkin anak SMP) yang ngajak saya boncengan, ya tinggal tersenyum aja, maklum lah anak segini lagi suka – sukanya pamer dia adalah bocah lelaki. Hihihi!
Dari si anak tengil, saya beranjak ke anak muda yang lagi nongkrong dan banter – banternya pasti mereka bilang, ‘mau pulang ya neng?’, tinggal tersenyum lagi, pindah ke bapak – bapak bajaj yang lagi kongkow – kongkow dan bilang, ‘mau kemana neng, naik bajaj? dan sekali lagi tersenyum sambil mikir emangnya bajaj dari arah kantor bisa ke arah karet? Setelah jalan agak jauh (ditambah laptop biru kesayanganku yang enak – enakan bobo) saya lagi – lagi bertemu dengan bapak – bapak ojek yang bilang, ‘ojek non?’ kali ini saya hanya menggeleng dan tidak tersenyum karena perut sudah membisikkan 5 huruf yang membentuk kata lapar di telinga saya.

Akhirnya, saya bertemu dengannya, si supir taksi BB yang tidak bisa saya sebutkan merek armadanya. Armada biru yang mengutamakan kenyamanan dan keamanan (walaupun mahal! Belum yang seri Silver B. yang sekali buka 15 rebu). Saya mengetahui namanya tentu saja dari papan identitas yang selalu berdiri tegak di depan penumpang kursi depan.

Heriyanto namanya. Kenapa saya harus sampai menulis namanya di blog ini? Saya juga bingung tapi saya tahu satu hal bahwa dia adalah sopir taksi yang unik. Kenapa unik? Karena dia tidak tahu jalan (baru 5 bulan menjadi supir taksi), karena dia dari Bandung (kota yang bagi orang lain spesiall tapi bagi saya biasa saja), karena dia senang bercanda, karena dia suaranya bagus (cocok jadi penyiar mungkin) dan yang paling unik karena dia tahu seluk beluk advertising! Jadilah saya di taksi dengan sekeliling ramai macet malah mengobrol asik dengan Pak Heri (walaupun kadang ni mata ga nahan untuk tidak melihat argo nya). Malam itu, malam termacet yang pernah saya rasakan, perjalanan yang biasanya hanya setengah jam menjadi satu setengah jam dan alhasil bokek lah! Tapi saya terharu mendengar supir taksi yang lugu ini berkata, “Saya senang hari ini dapat penumpang seperti mbak theo, baik dan ga sombong”. Nah lo? Lalu saya tanya ke dia, “memangnya biasanya pada sombong pak?” Pikiran saya waktu itu, bisa saja sombong karena memang sedang tidak ingin diajak ngobrol. Lalu saya tiba – tiba tertawa sewaktu dia bilang, “Iya mbak, si CEO – CEO itu biasanya sombong sekali, merasa tinggi kali.”  Hahahaha! Ya iyalah CEO dibandingin sama calon fresh graduate yang juga lagi bingung mau jalan ke arah mana. Setelah selesai tertawa, saya bilang sesuatu yang membuatnya tertawa terbahak, “Hahaha! Ya iyalah pak, mereka khan CEO, coba check aja besok sewaktu saya jadi CEO saya masih mau diajak ngobrol bapak atau tidak.” Amin jadi CEO katanya. Semoga itu memang doa.

Setelah turun dan mengira uangnya kurang, saya mencium sesuatu yang membuat air liur ini mau melonjak turun. Sate kambing!!
Ummm… akhirnya saya memutusakan membeli 10 tusuk dan 1 lontong ditambah irisan cabai yang banyak dan irisan bawang penuh. Ternyata setelah dicek ricek, uang saya kurang 500 rupiah (kondisinya memang bener – bener mepet karena tadi macet, dan taksi membengkak). Untungnya mas penjual yang tidak terlalu manis namun  baik hati ini tetap memberikan porsi kambing yang enak itu. Bahkan dia bilang, tidak usah dikembalikan, mungkin pikirnya 500 rupiah ini (mungkin ditambah raut muka saya yang mungkin saat itu mirip kucing nyasar).

Terimakasih pak Heri dan abang Sate Kambing yang waloupun taksi dan satenya sama –sama mahal tapi saya mencintai merek taksi dan sate anda berdua!

Memori otak di : 07 Juli 2010
Lokasi : Manggarai – Menara Imperium – Karet Jakarta